Sabtu, 29 September 2012

Kejahatan E-COMMERCE Dihubungkan Dengan Hukum Positif DalamRangka Penegakan Hukum Di Indonesia


A. Ketentuan Hukum Dalam Kejahatan E-Commerce
Hak dan kewajiban tidak ada artinya jika tidak dilindungi oleh hukum yang dapat menindak
mereka yang mengingkarinya. Sebuah dokumen untuk dapat diajukan ke depan pengadilan
harus mengikuti tiga aturan utama:
1. The rule of authentification;
2. Hearsay rule; dan
3. The Best Evidence rule.
Pengadilan modern telah dapat mengadaptasi ketiga jenis aturan ini di dalam sistem
e‐commerce. Masalah autentifikasi misalnya telah dapat terpecahkan dengan memasukkan
unsur‐unsur origin dan accuracy of storage jika email ingin dijadikan sebagai barang bukti
(sistem email telah diaudit secara teknis untuk membuktikan bahwa hanya orang tertentu
yang dapat memiliki email dengan alamat tertentu, dan tidak ada orang lain yang dapat
mengubah isi email ataupun mengirimkannya selain yang bersangkutan). Termasuk pula
untuk proses autentifikasi dokumen digital yang telah dapat diimplementasikan dengan
konsep digital signature. Aspek hearsay yang dimaksud adalah adanya pernyataan‐pernyataan
di luar pengadilan yang dapat diajukan sebagai bukti. Di dalam dunia maya, hal‐hal semacam
email, chatting, dan tele‐conference dapat menjadi sumber potensi entiti yang dapat dijadikan
bukti.
Namun tentu saja pengadilan harus yakin bahwa berbagai bukti tersebut benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Faktor best‐evidence berpegang pada hirarki jenis
bukti yang dapat dipergunakan di pengadilan untuk meyakinkan pihak‐pihak terkait
mengenai suatu hal, mulai dari dokumen tertulis, rekaman pembicaraan, video, foto, dan lain
sebagainya. Hal‐hal semacam tersebut di atas selain secara mudah telah dapat didigitalisasi
oleh komputer, dapat pula dimanipulasi tanpa susah payah; sehubungan dengan hal ini,
pengadilan biasanya berpegang pada prinsip originalitas (mencari bukti yang asli).
Dalam melakukan kegiatan e-commerce, tentu saja memiliki payung hukum, terutama di
negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi
Elektronik, walaupun belum secara keseluruhan mencakup atau memayungi segala perbuatan
atau kegiatan di dunia maya, namun telah cukup untuk dapat menjadi acuan atau patokan
dalam melakukan kegiatan cyber tersebut.


Beberapa pasal dalam Undang-Undang Internet dan Transaksi Elektronik yang berperan
dalam e-commerce adalah sebagai berikut :
1. Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia
maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum
Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
2. Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan
informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan.
3. Pasal 10
(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh
Lembaga Sertifikasi Keandalan.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Pasal 18
(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi
Elektronik internasional yang dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional,
hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
(4)   Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau
lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang
mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif
lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut,
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional
5. Pasal 20
(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran
transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima.
(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik

6. Pasal 21
(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak
yang dikuasakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
b. jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau
c. jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(3) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik
akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap Sistem Elektronik, segala akibat
hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
(4) Jika kerugian Transaksi Elektronik disebabkan gagal beroperasinya Agen Elektronik
akibat kelalaian pihak pengguna jasa layanan, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab
pengguna jasa layanan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan
terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem
Elektronik.
7. Pasal 22
(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada Agen Elektronik
yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi
yang masih dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8. Pasal 30
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui,
atau menjebol sistem pengamanan.

9. Pasal 46
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Selain mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Internet &
Transaksi Elektronika di atas, ada beberapa peraturan atau perundangan yang mengikat dan
dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam kegiatan bisnis e-commerce, diantaranya
adalah :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
d. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
e. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
f. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan
g. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang
h. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
i. Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
j. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
k. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
l. Peraturan Pemerintah RI Nomor 48 Tahun 1998 Tentang Pendirian Perusahaan Perseroan
dibidang Perbankan.
Serta undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait dengan kejahatan e-commerce ini.

B. Penegakan Hukum terhadap kegiatan dan kejahatan E-Commerce Dalam Sistem
Hukum Positif Di IndonesiaPembentukan peraturan perundang-undangan di dunia cyber berpangkal pada keinginan
masyarakat untuk mendapatkan jaminan keamanan, keadilan dan kepastian hukum. Sebagai
norma hukum cyber atau cyberlaw akan menjadi langkah general preventif atau prevensi
umum untuk membuat jera para calon-calon penjahat yang berniat merusak citra teknologi
informasi Indonesia dimana dunia bisnis indonesia dan pergaulan bisnis internasional.
Penegak hukum di Indonesia mengalami kesulitan dalam menghadapi merebaknya
cybercrime khususnya kejahatan e-commerce. Banyak faktor yang menjadi kendala, oleh
karena itu aparatur penegak hukum harus benar-benar menggali, menginterpretasi hukumhukum positif yang ada sekarang ini yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan
e-commerce.
Penyelidikan dan penyidikan selalu mengalami jalan buntu dan atau tidak tuntas dikarenakan
beberapa hal, yang terutama adalah terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh
penegak hukum, karena penanganan kejahatan ini memerlukan keterampilan khusus dari
penegak hukum.
Dalam menghadapi perkembangan di masyarakat, yang didalamnya termasuk juga tenologi,
RUU KUHP tampak menyadari, hal ini ternyata dalam ketentuan pasal 1 Ayat (3). Dalam
konsep RUU KUHP 1991/1992 Pasal 1 ayat (1) masih mempertahankan asas legalitas. Pada
ayat (3) bunyinya : “ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang
hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun
perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Dari hal tersebut, maka dapatlah dilihat bahwa ada kejahatan yang dapat dijerat dan ada yang
tidak, maka diperlukan adanya keberanian hakim untuk menafsirkan undang-undang,
walaupun hakim selalu dibayang-gayangi oleh pasal 1 KUHP, namun hakim tidak boleh
menolak setiap perkara yang telah masuk ke pengadilan.
Dalam Undang-Undang kekuasaan kehakiman, tertera jelas bahwa hakim sebagai penegak
hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dimasyarakat. Dari ketentuan ini sesungguhnya mendorong bahkan memberikan justifikasi
untuk interpretasi atau penafsiran terhadap ketentuan undang-undang, bahkan ada ancaman
bila menolak dapat dituntut (dihukum). Dalam mengisi kekosongan Hukum, hakim untuk
sementara dapat melakukan interpretasi.
Mengingat kejahatan e-commerce merupakan salah satu kejahatan baru dan canggih, maka
wajar saja dalam penegakan hukumnya masih mengalami beberapa kendala yang apabila
tidak segera ditangani maka akan memberikan peluang bagi pelaku kejahatan bisnis yang
canggih ini untuk selalu mengembangkan “bakat” kejahatannya di dunia maya khususnya
kejahatan e-commerce. Beberapa kendala tersebut antara lain :
a.  Pembuktian (bukti elektrik)
Persoalan yang muncul adalah belum adanya kebulatan penafsiran terhadap kepastian dari
alat bukti elektrik ini dikarenakan alat bukti ini mudah sekali untuk di copy, digandakan atau
bahkan dipalsukan, dihapus atau dipindahkan. Walaupun mengacu pada Pasal 5 UndangUndang ITE telah jelas menyebutkan mengenai alat bukti ini, namun masih saja aparat
penegak hukum susah untuk mendapatkan alat bukti yang otentik.b. Perbedaan Persepsi.
Perbedaan persepi yang dimaksud adalah bahwa terjadinya perbedaan antara penegak hukum
dalam menafsirkan kejahatan yang terjadi dengan penerapan pasal-pasal dalam hukum positif
yang belaku sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan.
c.   Lemahnya penguasaan komputer
Kurangnya kemampuan dan keterampilan aparat penegak hukum dibidang komputer yang
mengakibatkan taktis, teknis penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan tidak
dikuasai karena menyangkut sistem yang ada didalam komputer.
d. Sarana dan prasarana
Fasilitas komputer mungkin memang ada di setiap kantor-kantor para penegak hukum,
namun hanya sebatas berfungsi untuk mengetik saja, sedangkan kejahatan e-commerce ini
dilakukan dengan menggunakan komputer yang berjaringan dan berkapasitas teknologi yang
lumayan maju sehingga pihak aparat sulit untuk mengimbangi kegiatan para pelaku kejahatan
tersebut.
e. Kesulitan Menghadirkan korban
Terhadap kejahatan yang korbannya berasal dari loar negeri umumnya sangat sulit untuk
melakukan pemeriksaan yang mana keterangan saksi korban sangat dibutuhkan untuk
membuat sebuah berita acara pemeriksaan.
Menurut Ahmad P Ramli (2005: 55-56) Terkait dengan penentuan hukum yang berlaku,
dikenal adanya beberapa asa yang biasa digunakan, yaitu :
1. Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum pidana
ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak
pidananya dilakukan di negara lain.
2. Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah dimana
akibat utamanya perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat
merugikan bagi negara yang bersangkutan.
3. Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk
menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana.
4. Passive nationality, yang menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan dari
korban kejahatan.
5. Protective principle, yang menyatakan bahwa belakunya hukum didasarkan atas
keinginnan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang
dilakukan diluar wilayahnya. Azas ini pada umumnya diterapkan apabila korbannya
adalah negara atau pemerintah.
6. Universalitity, bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku
kejahatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar